Tuesday 22 May 2012

Pulsa dan Konten


Semakin berkembang zaman, semakin berkembang pula kebutuhan akan alat komunikasi. Salah satu alat komunikasi yang sudah tidak mewah lagi dikalangan masyarakat adalah Handphone. Handphone sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dimulai dari kaum bawah sampai kaum atas.

Mendengar kata Handphone, pasti akan langsung dikaitkan dengan kata ‘pulsa’. Bahkan anak muda sekarang mempunyai slogan ‘Percuma mempunyai Handphone bagus jika tak mempunyai pulsa’. Jadi, mempunyai Handphone bagus tak lengkap jika tak mempunyai pulsa.

Pulsa sangat mudah didapatkan. Jangankan di kota besar, di desa-desa pun banyak yang menjual pulsa. Menjual pulsa terkadang tak perlu harus mendirikan konter, cukup membeli modal untuk berjualan pulsa. Banyak pengalamanku yang berhubungan dengan pulsa diantaranya adalah kisahku dulu ketika aku dibelikan handphone baru oleh ayahku. Saat itu adalah masa SMP ku. Masa dimana banyak teman sebayaku yang sudah mengenal Handphone bahkan sejak zaman mereka waktu SD.

Saat itu, semua provider masih memberikan pelayanan sms dengan harga yang mahal rata-rata Rp 350,00/sms. Nilai yang besar jika dibandingkan dengan sekarang yang hanya membutuhkan Rp 300,00 untuk mendapatkan bonus sms sepuasnya ke semua operator.

Keingintahuanku mengenai provider tersebut membuatku mencoba-coba untuk memakai layanan yang diberikan. Dan saat itu aku tertarik dengan layanan games. Aku kaget setengah mati ketika melihat pulsa yang baru saja aku isi habis tak meninggalkan sisa. Aku berpikir keras mengutak-atik Handphone barangkali tadi ada yang memakai Handphoneku dan memakainya untuk menelpon.

Aku ingat dengan layanan games yang aku buka tadi. Bukannya games yang aku dapatkan, aku hanya mendapatkan sebuah links di kotak masuk layanan. Maklum saja aku kecewa dan tidak mengerti apa yang harus ku lakukan dengan links tersebut karena saat itu aku masih belum mengerti tentang internet.

Keesokan harinya aku mengisi pulsa di konter tempat biasanya aku membeli pulsa. Dan setiap hari jam 11 siang, pulsaku akan berkurang Rp 2.000,00 penyebab ini semua tak lain dan tak bukan adalah aku berlangganan sebuah konten games. Bingung apa yang harus ku lakukan, aku tak pernah menghidupkan Handphoneku. Alhasil pulsaku selalu tetap. Tapi buat apa Handphone jika aku terus mematikannya.

1 minggu kemudian aku menceritakan hal ini kepada orang tuaku. Orang tuaku yang juga tidak begitu mengerti tentang masalah ini mengajakku untuk menemui kakakku untuk meminta bantuan darinya. Setelah di cek, selain aku berlangganan konten games aku juga berlangganan zodiak. Sedikit terkejut karena aku berpikir bahwa aku tidak melakukan semua itu.

Kakakku yang juga tidak mengerti perintah untuk menghentikan layanan tersebut akhirnya menelpon customer service. Setelah itu, semua layanan akhirnya dihentikan dan aku agak trauma untuk mengunjungi sebuah layanan yang diberikan provider.

Semuanya sudah kembali normal, pulsa yang aku isi tak disedot lagi. Aku bisa dengan leluasa menghidupkan Handphoneku dan saling berkomunikasi dengan teman. Semakin lama semakin mengerti tentang hal itu, aku sering ganti-ganti provider karena tertarik dengan diskon-diskon yang ditawarkan.

Tapi aku sadar, mengganti nomer Handphone secara terus menerus juga akan membuat orang capek untuk menyimpan nomerku. Aku benar-benar awet dalam menggunakan pulsa, begitulah yang dikatakan temanku. Aku tidak seperti mereka yang kebanyakan menggunakan pulsa untuk melakukan hal yang tidak penting seperti menelpon dsb. Karena bagiku pulsa adalah sesuatu yang sangat berharga.

Handphone tanpa pulsa bisa dikatakan seperti nasi tanpa garam. Paling tidak seminimalnya aku sudah memastikan bahwa Handphoneku masih tersisa pulsa yang mencukupi jika akan pergi luar kota. Semua itu untuk berjaga-jaga jikalau nantinya ada sesuatu  yang tidak diinginkan terjadi saat di perjalanan.

Cerita di atas hanyalah sedikit kisahku yang berhubungan dengan pulsa. Pasti tak sedikit orang yang mengalami hal tersebut. Handphone dan pulsa memang tidak akan bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Saturday 12 May 2012

Antara Aku & Sepatuku


          Tahun 1972 bukanlah tahun yang mudah bagi Bangsa Indonesia. Pasalnya di tahun tersebut masih banyak kemiskinan merajalela begitupun dengan tahun modern ini. Kemiskinan menjadikan momok pemisah antara pendidikan dan anak-anak berprestasi. Tak peduli betapa berat jalan yang harus ditempuh, betapa panas kaki yang tak beralas ini melangkah, ku akan tetap belajar demi kemajuan masa depanku.

             Tak sedikit kisah kecil memilukan ibuku yang dia ceritakan padaku beserta adik-adikku. Semua itu tak lain dan tak bukan adalah sebagai bentuk pembelajaran tidak langsung serta sebagai ungkapan rasa syukur atas apa yang telah Allah berikan selama ini.

            Pagi hari yang cerah dihiasi dengan pemandangan indah dan udara sejuk di desa tak membuatku dan teman-teman pantang menyerah dalam meraih pendidikan. Jarak sekolah yang jauh ditambah kaki yang tidak beralas bukanlah menjadi penghalang bagi kami. ‘sudah terbiasa ya! Itulah kata yang mungkin akan ku jawab jika ada orang yang mempertanyakan hal itu. Kebersamaan membuat jarak menjadi singkat. Kebersamaan pulalah yang membuat kaki yang panas menjadi sangat menyenangkan.

             Sepatu mungkin merupakah barang yang masih langka di kalangan pelajar kala itu. Kaki yang setiap hari kepanasan ini mungkin membuat kedua orang tuaku membelikan sepatu untukku. ‘ternyata pakai sepatu itu tidak enak, tidak nyaman sekali’ pikirku dalam hati ketika pertama kali memakainya.

         Siang yang terik itu, ku putuskan untuk melepaskan sepatuku. Bagaimana mungkin aku memakai sepatu sementara kaki teman-temanku berjingkat-jingkat tak karuan kepanasan. Untuk mengurangi panas dikaki, aku dan teman-teman mengambil daun pisang yang kemudian diikat dikaki. Sambil balapan lari, panas itu malah berubah menjadi sebuah kehangatan. Kehangatan persahabatan yang tiada habisnya.

            Sepulang dari sekolah, kedua orang tuaku kaget melihat kakiku yang telanjang tak bersepatu. Aku dengan polosnya memberitahu keduanya bahwa aku masih belum nyaman memakai sepatu dan aku akan menyimpan sepatu itu untuk dipakai sewaktu-waktu jika aku butuh.

          Tahun berganti tahun, sepatu pun mulai banyak dipakai dikalangan pelajar. Dan itu artinya sepatu yang telah aku simpan, siap untuk kekeluarkan dari sarangnya. Tanpa pernah aku sadari sebelumnya, bahwa kaki lama-kelamaan akan mengalami perubahan dan tidak pada sepatu. Sepatu yang kekecilan ini membuat kakiku lecet dan terus berkeringat. Alhasil, ku putuskan untuk terus menyimpannya. Biarlah sepatu pertamaku ini tak pernah ku pakai, tapi akan selalu ku ingat hingga nantinya akan aku ceritakan kepada anak cucu-cucuku nanti.

           Itulah cerita singkat dari ibuku. Banyak pelajaran berharga yang telah ku petik didalam cerita itu. Sementara kini ketika sepatu bukanlah hal mewah bagi pelajar, banyak sepatu yang masih layak pakai terlihat dimana-mana di tempat sampah maupun TPA. Sepatu akan diganti setiap tahun mengikuti perubahan kelas ke jenjang yang lebih tinggi. Tak peduli sepatu itu masih layak dipakai atau tidak. Para pelajar umumnya pasti akan merengek-rengek meminta kepada orang tuanya untuk membelikannya sepatu.

            Aku tak akan pernah menceritakan orang lain, karena sikap kekanak-kanakanku dulu juga begitu. Tapi sekarang, ketika aku mulai dewasa. Ketika aku mulai mengerti akan semuanya, aku berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan barang tersebut sampai benar-benar tidak layak untuk dipakai, khususnya sepatu. Jika sepatu itu masih layak pakai dan tidak muat, ada baiknya sepatu itu disimpan dan nantinya diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan.

          Kisah singkat tentang sepatu yang tentunya bisa dijadikan sebuah pembelajaran berharga dalam hidup. Bersyukur itu dimulai dari hal-hal yang paling kecil, jika hal kecil tidak bisa disyukuri terlebih lagi hal yang besar. Tak ada kesempurnaan dalam hidup, tapi sebagai manusia kita bisa memaksimalkan untuk hidup dengan sebaik-baiknya.