Tahun 1972 bukanlah
tahun yang mudah bagi Bangsa Indonesia. Pasalnya di tahun tersebut masih banyak
kemiskinan merajalela begitupun dengan tahun modern ini. Kemiskinan menjadikan
momok pemisah antara pendidikan dan anak-anak berprestasi. Tak peduli betapa
berat jalan yang harus ditempuh, betapa panas kaki yang tak beralas ini
melangkah, ku akan tetap belajar demi kemajuan masa depanku.
Tak sedikit kisah kecil memilukan ibuku yang dia
ceritakan padaku beserta adik-adikku. Semua itu tak lain dan tak bukan adalah
sebagai bentuk pembelajaran tidak langsung serta sebagai ungkapan rasa syukur
atas apa yang telah Allah berikan selama ini.
Pagi hari yang cerah dihiasi dengan pemandangan indah dan
udara sejuk di desa tak membuatku dan teman-teman pantang menyerah dalam meraih
pendidikan. Jarak sekolah yang jauh ditambah kaki yang tidak beralas bukanlah
menjadi penghalang bagi kami. ‘sudah terbiasa ya! Itulah kata yang mungkin akan
ku jawab jika ada orang yang mempertanyakan hal itu. Kebersamaan membuat jarak
menjadi singkat. Kebersamaan pulalah yang membuat kaki yang panas menjadi
sangat menyenangkan.
Sepatu mungkin merupakah barang yang masih langka di
kalangan pelajar kala itu. Kaki yang setiap hari kepanasan ini mungkin membuat
kedua orang tuaku membelikan sepatu untukku. ‘ternyata pakai sepatu itu tidak
enak, tidak nyaman sekali’ pikirku dalam hati ketika pertama kali memakainya.
Siang yang terik itu, ku putuskan untuk melepaskan
sepatuku. Bagaimana mungkin aku memakai sepatu sementara kaki teman-temanku
berjingkat-jingkat tak karuan kepanasan. Untuk mengurangi panas dikaki, aku dan
teman-teman mengambil daun pisang yang kemudian diikat dikaki. Sambil balapan
lari, panas itu malah berubah menjadi sebuah kehangatan. Kehangatan persahabatan
yang tiada habisnya.
Sepulang dari sekolah, kedua orang tuaku kaget melihat
kakiku yang telanjang tak bersepatu. Aku dengan polosnya memberitahu keduanya
bahwa aku masih belum nyaman memakai sepatu dan aku akan menyimpan sepatu itu
untuk dipakai sewaktu-waktu jika aku butuh.
Tahun berganti tahun, sepatu pun mulai banyak dipakai
dikalangan pelajar. Dan itu artinya sepatu yang telah aku simpan, siap untuk
kekeluarkan dari sarangnya. Tanpa pernah aku sadari sebelumnya, bahwa kaki
lama-kelamaan akan mengalami perubahan dan tidak pada sepatu. Sepatu yang
kekecilan ini membuat kakiku lecet dan terus berkeringat. Alhasil, ku putuskan
untuk terus menyimpannya. Biarlah sepatu pertamaku ini tak pernah ku pakai,
tapi akan selalu ku ingat hingga nantinya akan aku ceritakan kepada anak
cucu-cucuku nanti.
Itulah cerita singkat dari ibuku. Banyak pelajaran
berharga yang telah ku petik didalam cerita itu. Sementara kini ketika sepatu
bukanlah hal mewah bagi pelajar, banyak sepatu yang masih layak pakai terlihat
dimana-mana di tempat sampah maupun TPA. Sepatu akan diganti setiap tahun
mengikuti perubahan kelas ke jenjang yang lebih tinggi. Tak peduli sepatu itu
masih layak dipakai atau tidak. Para pelajar umumnya pasti akan merengek-rengek
meminta kepada orang tuanya untuk membelikannya sepatu.
Aku tak akan pernah menceritakan orang lain, karena sikap
kekanak-kanakanku dulu juga begitu. Tapi sekarang, ketika aku mulai dewasa.
Ketika aku mulai mengerti akan semuanya, aku berusaha semaksimal mungkin
memanfaatkan barang tersebut sampai benar-benar tidak layak untuk dipakai,
khususnya sepatu. Jika sepatu itu masih layak pakai dan tidak muat, ada baiknya
sepatu itu disimpan dan nantinya diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan.
Kisah singkat tentang sepatu yang tentunya bisa dijadikan sebuah pembelajaran berharga dalam hidup. Bersyukur itu dimulai dari hal-hal yang paling kecil, jika hal kecil tidak bisa disyukuri terlebih lagi hal yang besar. Tak ada kesempurnaan dalam hidup, tapi sebagai manusia kita bisa memaksimalkan untuk hidup dengan sebaik-baiknya.
No comments:
Post a Comment